Rabu, 21 Januari 2009

MEMAHAMI MAKNA "AL-HAKIMIYAH" DALAM AL-QUR'AN

Artinya : "Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir (QS. Al Maidah : 44 )

Asbabun Nuzul :
Mufassirun berbeda pendapat di dalam menentukan sebab dan kepada siapa diturunkan ayat di atas, perbedaan itu mungkin bisa disebutkan secara global di antaranya:
1. Ayat tersebut diturunkan kepada Ahlul Kitab dari Yahudi dan Nasroni.
2. Ayat 44 (fa ulaaika humul kaafirun) diturunkan kepada Muslimin, ayat 45 (fa ulaaika humudz dzoolimun) diturunkan kepada Yahudi, sedangkan ayat 46 (fa ulaaika humul faasiqun) diturunkan kepada orang - orang Nasroni.
3. Ayat tersebut diturunkan kepada orang orang kafir secara umum
4. Ayat tersebut diturunkan kepada orang - orang muslimin.

Keterangan :
Ayat di atas merupakan isyarat bagi kaum muslimin secara umum, untuk selalu berpegang teguh dengan apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an dan As Sunah ), sekaligus merupakan ancaman yang serius terhadap usaha - usaha untuk meninggalkan atau mengesampingkan hukum Allah di dalam memutuskan perkara - perkara yang terjadi di dalam masyarakat.

Adalah sesuatu yang janggal, kalau seorang muslim yang sudah mengikrarkan "syahadatain" dan mengakui bahwa kekuasaan mutlak hanya milik Allah saja, akan tetapi manakala ia diajak untuk berhukum dengan hukum Allah di dalam memutuskan perkara - perkara yang terjadi, tiba - tiba ia berpaling. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, ketika mengikrarkaan syahadatain.

Para ulama telah menyimpulkan ayat di atas bahwa " berhukum dengan apa yang yang diturunkan Allah di dalam memutuskan seluruh perkara adalah wajib ". Ancaman keras bagi yang meninggalkannya, bahkan bisa mengeluarkan seseorang dari ikatan Islam.

I. Kata (man ) yang berma'na : "barang siapa" adalah lafadz umum, yang tidak boleh dikhususkan kecuali dengan dalil. Walaupun sebagian ulama' mengatakan bahwa ayat itu diturunkan kepada Yahudi ( Ahli Kitab ), akan tetapi mereka memasukkan semua orang yang berbuat seperti perbuatan mereka dalam satu hukum, karena" Al Ibroh menurut keumuman lafadz bukan menurut kekhususan dari sebab turunnya ayat ".

Hal itu terlihat jelas dari perkataan mereka sendiri, di antaranya:
1. Hasan Basri, beliau mengatakan : " Ayat ini diturunkan kepada Ahli Kitab, akan tetapi menjadi kewajiban kita ( kaum muslimin )
2. Diriwayatkan dari Abdur Rozaq dari Sofyan Ats-Tsauri dari Manshur dari Ibrohim, beliau berkata : " Ayat ini diturunkan kepada Bani Isroil, akan tetapi Allah memperlakukan ini kepada umat Islam ".
3. Hal ini juga dikuatkan oleh Jamaluddin Al-Qosimi di dalam tafsirnya, Mahasin At Ta'wil, beliau menulis : "Ismail Al Qodhy di dalam Ahkamul Qur'an mengatakan : "Ayat di atas menunjukkan bahwa barang siapa yang mengerjakan seperti apa yang mereka kerjakan (orang-orang Yahudi), dan membuat suatu hukum yang bertentangan dengan hukum Allah serta menjadikannya sebagai ajaran yang resmi, maka niscaya akan terkena ancaman tersebut ( dicap sebagai orang kafir ), baik itu sebagai sosok pemimpin atau bukan ".
4. Syeikh Siddiq Khan, didalam Fathul Mubin ju ga menyebutkan hal yang sama, beliau menulis:
"Ayat ini walaupun diturunkan kepada orang Yahudi, akan tetapi tidak dikhususkan kepada mereka saja, karena yang dijadikan i'tibar adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab, kata (man) di sini adalah syarat yang mengandung keumuman. Maka ayat ini mencakup seluruh orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah ".
5. Di dalam tafsirnya, Al-Qurtubi juga menjelaskan ayat ini dengan menukil perkataan Ibnu Mas'ud, yang berbunyi : " Ayat ini mencakup seluruh orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, baik itu dari kaum Muslimin, Yahudi maupun Nasroni ".

Pendapat para Mufassirin tersebut, dikuatkan dengan adanya dalil-dalil lainnya diantaranya :
1. Bahwa Al Quran diturunkan kepada kaum Muslimien sebagai petunjuk di dalam mengarungi kehidupan ini, adalah suatu yang tidak logis kalau ada ayat di dalam Al Quran yang ditujukan kepada umat lain kemudian tidak bisa diambil pelajarannya oleh umat Islam.
2. Penadapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi secara tidak langsung menuduh kaum Muslimien hanya ingin mencari enaknya sendiri, mangatakan apa yang tidak pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah Swt :
Artinya : " Mengapa kamu suruh orang lain ( mengerjakan ) kebaikan, sedang kamu melupakan diri ( kewajiban )mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, maka tidakkah kamu berpikir ? ". ( Q.S. Al Baqoroh : 44 )
3. Pendapat semacam itu juga akan mengakibatkan tidak berfungsinya banyak ayat - ayat di dalam Al Qur'an, karena kebanyakan ayat tersebut menceritakan tentang ummat terdahulu.

Dengan demikian menjadi jelaslah, bahwa pendapat yang mengatakan ayat itu hanya diturunkan kepada orang - orang Yahudi dan tidak berlaku bagi orang - orang Islam, adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan dalil - dalil Naql atau pun Aql.

II. Kata (lam yahkum) yang berarti : " tidak menghukumi " merupakan ungkapan yang sangat tepat dan jeli, karena ungkapan tersebut mencakup segala bentuk putusan yang bersumber kepada hukum Allah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Aziz bin Hamid di dalam bukunya " Adhwa' ala Ruknun Tauhid ".
Dengan demikian ungkapan tersebut mencakup para hakim yang memutuskan perkara tertentu dengan hawa nafsunya, walaupun mereka secara resmi di bawah Undang - Undang Negara Islam yang menerapkan Syare'at Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kalau seandainya ayat itu berbunyi (wa man yahkum bi ghoiri ma anzalallahu) tentunya, hakim semacam itu tidak akan terkena ancaman dalam ayat ini.

Dari situ kata (lam yahkum) mencakup :
1. Hakim yang memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, akan tetapi di dalam beberapa perkara dia menghukumi dengan hawa nafsu, tanpa mengingkari dan mengganti hukum Allah. Hakim seperti ini, dikategorikan Fasiq atau ( Kafir Kecil ) yang tidak mengeluarkannya dari daerah ke Islaman. Memang perbuatan semacam itu termasuk dosa besar, akan tetapi dosa besar semacam ini bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak dikatagorikan dosa yang mengeluarkan seseorang dari keIslamannya. Inilah yang dimaksud Ibnu Abbas dan beberapa Mufassirun lainnya dengan perkataan mereka (kufrun duna kufrin)
2. Hakim yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Allah dan tidak meyakini kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah.
Hakim semacam ini jelas telah batal keIslamannya, karena dia telah menghalalkan sesuatu yang haram, walau dia tidak sampai pada taraf merubah atau membuat Undang - Undang baru. Hal itu, seperti orang yang tak meyakini kewajiban Sholat, Zakat atau Haji. Pendapat semacam ini, dikuatkan oleh fatwa para ulama, di antaranya :
- Ibnu Taimiyah, di dalam Majmu' Tauhid, beliau menyebutkan : " ...tidak diragukan lagi bahwa barang siapa tidak meyakini kewajiban berhukum dengan apa yang jelas diturunkan Allah atas Rasul-Nya maka dia telah kafir ".
.- Ibnu Abdul Izz, di dalam Syarh Aqidah Thohawiyah, beliau menuliskan : " Sesungguhnya barang siapa meyakini bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah tidak wajib, dan bebas di dalamnya atau meremehkannya, sedangkan dia tahu bahwa itu adalah hukum Allah maka dia telah kafir ".
- Ibnu Qoyyim, didalam Madarijus Salikin, menyebutkan : " ...sesungguhnya barang siapa berkeyakinan bahwa hukum Allah tidak wajib diterapkan, maka dia telah kafir " .
3.Hakim yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah dan menggantinya dengan undang - undang buatan manusia. Hakim seperti ini, adalah kafir sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Di antara mereka itu ialah :
1. Syeikh Muhammad Sholeh Al Utsaimin, anggota ulama senior di Saudi Arabia. Di dalam bukunya Fatawa Al Aqidah, beliau menjelaskan permasalahan ini :
" Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkannya atau menganggap bahwa selainnya lebih baik dan lebih bermanfaat bagi makhluq, maka dia telah kafir, keluar dari agama Islam, termasuk didalamnya para hakim yang meletakkan undang - undang buatan manusia yang bertentangan dengan Syari'at Islamiyah dan menjadikannya sebagai manhaj yang harus dipatuhi manusia.

Hal itu tidak dikarenakan kecuali karena mereka berkeyakinan bahwa undang - undang yang mereka buat lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia dari Syari'at Islamiyah. Ini sesuai dengan fitroh manusia, karena seseorang tidak akan pindah dari satu manhaj ke manhaj lain yang bertentangan, kecuali dia berkeyakinan bahwa manhaj yang ia pilih lebih baik dari manhaj yang ia tinggalkan ".
2. Pendapat itu dikuatkan oleh Syeikh Ahmad Syakir, didalam Umdah Tafsir beliau menyebutkan :
" Sesungguhnya hukum membuat undang - undang ( buatan manusia ), sangatlah jelas seperti matahari di siang bolong, yaitu kafir, keluar dari Islam.

Dan tidak ada udzur bagi siapa saja yang mengaku dirinya Islam, kemudian mengerjakan atau tunduk serta merestuinya, maka dia telah terkena hukum ini. Maka hendaknya setiap orang berhati - hati menjaga dirinya.

(Bersambung edisi mendatang.)

Referensi :
1. Ibnu Katsir, tafsir Qur'an Al Adhim.
2. Jamaluddin Al Qosimi, tafsir Mahasin At Ta'wil
3. Qurthuby, Jami' Ahkamul Qur'an
4. Siddiq khan, Fathul Mubin
5. Abdul Aziz Hamid, Adhwa' ala Ruknun Tauhid
6. M. Said Al Qohthoni, Al Wala' wal Baro'
7. Ibnu Taimiyah, Majmu' Tauhid.
8. Ibnu Abdul Izz, Syarh Aqidah Thohawiyah.
9. Ibnu Qoyyim, Madarijus Salikin.
10. Muh. Sholeh Utsaimin, Fatawa Aqidah.
11. Ahmad Syakir, Umdatut Tafsir.

sumber:
http://www.geocities.com/almitsaq/edisi3/tafsir.html

1 komentar:

  1. gmn caranya supaya artikel ini masuk ke email saya tiap minggu atau tiap bulan?

    BalasHapus